Si Janggut dan Soal Persepsi
Setiap Rabu malam mereka datang ke kedai Jatmiko, dengan khidmat, seolah memasuki sebuah kuil. Mereka datang untuk mengenang dan menghormati Si Janggut, seorang aktivis buruh yang dulu selalu minum bir di kedai itu sambil menunggu Trinil, perempuan yang dicintainya. Perempuan yang lenyap begitu saja pada 26 April, seolah tanggal itu sudah dilingkarinya pada kalender. Adegan ini ada pada “Si Janggut Mengencingi Herucakra”— salah satu kisah dalam kumpulan cerita pendek berjudul sama karangan A.S. Laksana.
Seperti buku kumpulan ceritanya yang lain, kemahiran Laksana menyajikan cerita juga muncul di sini. Kisah-kisahnya mengalir terang, ketat, tanpa mendesakkan pesan tertentu kepada pembaca. Penuturannya juga memberikan ruang luas kepada pembaca untuk memiliki bacaannya sendiri terhadap hal-hal subtil atau satir di dalamnya.
Dalam cerita “Si Janggut Mengencingi Herucakra” disajikan bagaimana Si Janggut tak pernah lelah berusaha menebarkan benih perlawanan di kepala para buruh. Kita tidak bisa membiarkan setan-setan pemeras keringat para buruh terus berkeliaran, begitu ia berpidato. Terus begitu sampai ia bertemu dan jatuh cinta pada Trinil, seorang perempuan bisu-tuli.
Tanpa menjelaskannya, Laksana berhasil menunjukkan betapa Si Janggut, aktivis kita ini, sebetulnya konyol belaka. Si Janggut kesal karena tak seorang pun di pabrik bohlam tempatnya bekerja mau mendengarkan hasutannya. Saat Trinil duduk anteng di hadapannya, Si Janggut kesengsem. Diam Trinil ia terjemahkan sebagai pengertian dan pengaminan terhadap segala yang ia ucapkan. Lantas ia melupakan kelompok buruh yang seharusnya ia gerakkan dan mengarahkan pidato kepada seorang saja yang mau mendengarnya, Trinil. Saat Trinil lenyap, setiap hari Si Janggut datang ke kedai Jatmiko dan menunggu. Lain tidak.
Di kemudian hari orang-orang yang rajin mendatangi kedai Jatmiko, seolah kedai itu sebuah kuil, mengagumi Si Janggut bulat-bulat. Mereka kelompok yang tak kalah konyol, menokohkan Si Janggut lebih karena persepsi mereka akan perjuangannya, bukan melihat secara utuh apa-apa yang sudah betul-betul ia lakukan. Bahwa polah Si Janggut cenderung karikaturis – seperti aktivis baru tumbuh yang berkoar-koar dengan kaus bergambar wajah Che Guevara – seolah tidak menjadi perhitungan mereka dalam memandang Si Janggut.
“Sekarang pun begitu, bukan? Orang sering meyakini sesuatu lebih karena persepsinya akan hal itu,” ujar Laksana saat kami berbincang dengannya soal kisah Si Janggut.
*
SOAL persepsi seseorang akan sesuatu kerap menjadi tulang punggung beberapa kisah di buku ini. Dalam cerita pertama, “Dijual: Rumah Dua Lantai Beserta Seluruh Kenangan di Dalamnya”, Laksana bermain-main dengan persepsi akan memori. Cerita ini berkisah tentang pasangan suami istri yang tak bisa bersama lagi karena perselisihan yang terus menerus, banyak di antaranya perkara sepele. Di dalamnya seolah tersaji pertanyaan, apakah memori adalah yang membentuk kesimpulan yang kita punyai sekarang akan suatu hal? Atau sebaliknya, pandangan kita sekaranglah yang justru membentuk bagaimana kita melihat hal-hal di masa lalu? Kisah ini menyajikan betapa bersama waktu ingatan manusia bertumpuk-tumpuk dan kita mengambil hanya bagian-bagian yang dapat mendukung apa yang kita rasakan saat ini. “Kau menginginkan perceraian, maka yang kaulihat dalam hubungan kita hanya kegelapan” (halaman 8).
Dua belas cerita Laksana memberikan ruang yang luas bagi pembaca untuk berimajinasi, merangsangnya bahkan. Ia membawa pembaca membayangkan adegan-adegan di luar teks sembari menyelami karakter dalam kisahnya. “Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama” membuat pembaca membayangkan kedekatan-kedekatan kecil antar ayah dan anak selain ritual mengenang almarhum Ibu dan Istri mereka pada setiap bulan purnama. Dalam “Rashida Chairani” pembaca membayangkan apa yang ada dalam pikiran si anak perempuan saat mengatakan “aku tahu apa yang harus kulakukan” menjelang ajal menjemput sang ibu. Ibu yang menyimpan dendam pada tiga lelaki yang dulu memerkosanya. Dalam “Pada Sebuah Kuil” pembaca ikut membayangkan bagaimana dunia dilihat oleh seorang pemuda yang dalam tidurnya mencekik ibunya sendiri. Kisah-kisah Laksana membawa pembaca menyelami hubungan-hubungan manusia dengan dirinya, takdirnya, dan orang di sekitarnya.
Dibanding kumpulan cerita Laksana sebelumnya, “Murjangkung”, di mana narator seolah dibiarkan berbuat sesukanya, di kumpulan cerita ini narator utama sering ditempatkan di belakang, bahkan cenderung tidak signifikan. Tokoh-tokohnya dibiarkan bergerak menentukan jalannya sendiri sementara narator memiliki sedikit saja kuasa akannya. Cerita pun disajikan lebih banyak dalam bentuk adegan, seperti dalam film. Adegan pada warung kopi, kamar tidur, teras rumah, pinggir jalan, rumah sakit jiwa.
Laksana juga bermain-main dengan teknik sudut pandang yang berganti-ganti. Dari orang pertama ke orang ketiga, atau antar orang pertama. Ini membuat cerita bergerak dinamis. Namun, di beberapa cerita di mana pergantian sudut pandang terjadi begitu tiba-tiba, pembaca dapat dibuat gelagapan juga. Pembaca, mau tak mau, terkadang harus mundur beberapa paragraf ke belakang untuk dapat mencernanya kembali. Dalam “Cerita Ababil”, misalnya, sudut pandang berpindah dari Rustam ke Maliki begitu saja tanpa petunjuk signifikan. Di satu bagian, pembaca mungkin baru menyadari perpindahan itu saat Rustam meratap pada Maliki yang tega menyuguhinya kopi yang telah diberi racun.
Kematangan Laksana bercerita juga tampak dari bagaimana cerita-ceritanya tidak mengandalkan akhir yang mengejutkan. Akhir sebuah cerita tidak harus merupakan sebuah kepingan puzzle yang hilang. Pengecualian terdapat pada “Anjing Kecil di Teras Rumah” di mana tokoh Seto yang kemudian diketahui adalah seekor anjing (mungkin korban tenung?) terkesan agak dipaksakan demi sebuah akhir yang menghentak. Ini agak menggangu bangunan narasi yang sudah disusun apik sebelumnya. Belakangan kami mengetahui bahwa cerita ini ditulis di periode yang lebih awal dibanding kisah-kisah lain di buku ini. Namun, cerita-cerita lain diakhiri dengan wajar dan tepat. Cerita berakhir karena ia memang harus berakhir.
‘Cerita tentang itu masih sangat panjang, dengan rentetan sebab akibat yang akan memakan banyak halaman, namun secara ringkas cukuplah kusebutkan sebab utamanya: kepalaku sudah terbiasa menggeleng.’
(akhir cerita ““Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama”)
Soal akhir sebuah cerita, sore itu A.S. Laksana memberikan analogi lagu The Beatles. Lagu “Michelle”, misalnya, syairnya pendek saja dan berulang-ulang di sana, karena memang begitulah ia seharusnya. Sementara lagu “Hey Jude” berpanjang-panjang dan kita terus tekun mendengarnya sampai akhir. Masing-masing cerita memiliki titik akhirnya sendiri-sendiri.
*
SEPERTI halnya persepsi yang kerap menjadi tulang punggung kisah-kisahnya, atau sudut pandang yang berganti-ganti yang memperlihatkan cara berbeda menaksir sebuah situasi, bacaan akannya pun bisa beragam. Ia dapat dibaca sebagai penyajian hubungan antar manusia yang indah bahkan manis, di sisi lain bisa juga dibaca sebagai hubungan-hubungan yang naas bahkan merusak. Di sinilah ia menjadi menarik, kisah-kisahnya menyajikan tabir-tabir yang bisa disibak tergantung persepsi pembacanya, persepsi tokoh-tokohnya, atau cara pandang umum di masyarakat. Seperti kisah si Janggut yang dapat dilihat sebagai kisah romantik seorang aktivis, atau kisah penokohan yang kerap berdasar pada hal-hal di permukaan belaka, atau juga bisa dilihat sebagai cerminan betapa sekarang banyak manusia yang begitu ingin berbicara tapi tak ada yang betul-betul mendengar.
Cerita-cerita A.S. Laksana muncul seperti kelebatan, membuat kita masuk ke dunianya, membuat kita ikut berimajinasi di dalamnya, lalu lenyap seperti pemandangan di kaca samping kereta. Kita yang masih duduk di bangku lantas mendekatkan wajah ke jendela dan berpikir, “Hei, apa itu yang barusan lewat? Indah sekali.” Atau, “Hei, apa itu yang barusan lewat? Murung sekali.”
Judul buku : Si Janggut Mengencingi Herucakra
Penulis : A.S. Laksana
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Oktober 2015
Tebal : viii + 133 halaman
ISBN : 978-979-1260-49-7
*Tulisan disarikan dari diskusi buku “Si Janggut Mengecingi Herucakra” dalam acara #CriticsAnonymous di toko buku POST, Pasar Santa, Januari 2016. Teks oleh Teddy W. Kusuma, pertama kali dipublikasikan di Disorder webzine, Juni 2016. Foto oleh Maesy Ang.