Menggonggong Bersama Dea Anugrah
Dea Anugrah adalah penulis cerita pendek, puisi, dan esai. Ia lahir di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, dan menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Tulisan-tulisannya terbit di sejumlah koran, majalah, zine, dan jurnal sastra. Buku kumpulan puisinya berjudul Misa Arwah (2015). Dalam waktu dekat ia akan menerbitkan buku kumpulan cerita pendek berjudul Bakat Menggonggong. Minggu lalu POST berbincang ngalor-ngidul dengan Dea, dan hal-hal seperti manusia banteng, karya-karya buruk, dan kompleks Oidipus muncul di dalamnya.
Halo, Dea, kamu kelihatannya sehat. Aku ingin tanya, deh: Seberapa sering kamu dikira perempuan karena namamu?
Hampir setiap kali dapat kenalan baru. Tidak ada kalimat yang lebih klasik bagi kupingku daripada ‘Oh, kirain perempuan, habis namanya Dea’.
Eh ya, selamat datang di Jakarta. Bisa ceritakan apa saja kegiatanmu sehari-hari?
Baca, nonton, dan main video game. Di sela-selanya aku menulis, atau kerja, anggap saja begitu, ya. Aku kurang suka jalan-jalan. Berada di dekat orang-orang yang tidak kukenal membuatku gugup. Tapi tentu aku berminat untuk melihat beberapa tempat baru sebelum mati.
Dengan segala kesibukanmu itu aku berasumsi kamu nggak mencuci pakaianmu sendiri.
Memang tidak. Kakiku gampang kesemutan dan mesin cuci yang bergoyang-goyang membuatku kesal.
Apa pendapatmu tentang perbedaan tarif yang signifikan antara jasa cuci kiloan di Jogjakarta dan di Jakarta?
Kalau ditanya beberapa bulan lalu, mungkin aku akan bilang “sepertinya aku perlu membiasakan diri memakai pakaian yang sudah terasa lengket dan berbau agak tengik.” Tapi sekarang, sih, pendek saja: sepele.
Banyak yang bilang kamu adalah pemuda harapan bangsa (cie), bisa ceritakan pengalaman kali pertama kamu menulis dengan serius?
Awalnya bacaanku cuma sampah hasil bongkar-bongkar lemari (waktu aku kecil, keluarga kami tinggal di rumah kontrakan yang lumayan luas dan di sana ada banyak sekali lemari besar punya pemilik rumah). Majalah Intisari, lembar-lembar yang terlepas dari buku-buku entah apa, komik-komik lokal (Deni Manusia Ikan, dsb) yang tidak lengkap, kumpulan cerita-cerita daerah, sedikit Lima Sekawan dan Goosebumps dan majalah Gober, buku-buku astrologi, himpunan kisah nabi-nabi dengan binding remuk dan halaman-halaman yang urutannya tertukar, serta buku-buku panduan-diri seperti Jadikanlah Anak-anak anda Teman, Belajar Kaya dari Tanaman Rambat dan semacamnya. Dipengaruhi kombo tidak karuan itu dan film-film Hong Kong kegemaran ayahku, aku sempat keranjingan bikin komik-komik satu halaman dan kitab kumpulan jurus-jurus kung fu. Dijual. Pembeli satu-satunya tentu saja adikku.
Setelah periode itu lewat, aku menulis lagi mulai kelas dua SMA. Pemicunya sepele, sebetulnya: ditraktir guru bahasa Indonesia di kantin sekolah. Dua pekan sebelum itu, aku dan beberapa teman jumpa dia di warnet dan kami membantunya mengirim tulisan via email. Waktu kami makan, dia bercerita soal asyiknya dunia menulis dan betapa mengagumkan seorang penyair bernama Taufiq Ismail. Aku kenal nama itu lewat majalah Horison yang kubaca di perpustakaan sekolah, tapi sama sekali tidak menduga kedahsyatannya. Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa Taufiq Ismail adalah orang yang sama sekali tidak menarik, tapi menurutku Sajak-sajak Ladang Jagung adalah buku kumpulan puisi yang bagus.
Dua tahun setelah kejadian itu, aku mencetak semua puisiku dan membakarnya di dalam kaleng biskuit dan menghapus arsipnya di komputer. Kemudian aku menulis puisi-puisi baru selama setahun, menerbitkan buku (dicetak kurang dari 70 eksemplar), dan mengulang kegiatan bakar-dan-hapus tadi sekitar tiga bulan setelah peluncuran.
Pengalaman membaca dan pengetahuan yang bertambah mendorongku untuk memahami penulisan terutama sebagai urusan pertukangan yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh, alih-alih cara mengekspresikan diri atau mengungkapkan perasaan belaka. Untuk urusan pengungkapan, kalau bicara saja tidak cukup, berteriak-teriak sambil menyundul lampu lalu lintas barangkali ampuh.
Bagaimana kamu menaksir tulisanmu sendiri dan apa pertanda ia telah selesai?
Sebagian penulis kagum pada kata-katanya sendiri dan sisanya adalah para bajingan pembenci diri. Aku tidak paham soal kelompok yang pertama. Orang-orang jenis kedua berusaha mengurangi kebencian itu lewat penyuntingan. Sialnya, kautahu, itu urusan yang bisa berlarut-larut sampai tiga belas abad jika kau menginginkannya. Tidak ada garis akhir yang ditentukan sejak awal. Maka, cepat atau lambat, tulisan ‘selesai’ hanya karena ditinggalkan oleh pembuatnya.
Bagaimana lingkungan pertemanan mempengaruhi selera dan keterampilanmu sebagai penulis?
Kupikir tidak ada penulis bagus yang sanggup berlama-lama di dekat penulis buruk dan sebaliknya. Sejak awal, pembentukan klik-klik itu pasti dipengaruhi oleh selera dan keterampilan para anggotanya. Seorang penulis membutuhkan rekan-rekan yang sepadan dengan atau lebih baik darinya, atau berpotensi menyamai atau melebihi dia, supaya dirinya sendiri berkembang. Tapi, ya, praktiknya jelas lebih rumit. Ada pertimbangan politis dan lain-lain yang pengaruhnya tak kalah besar. Selera mungkin berubah. Keterampilan bisa merosot atau tersangkut di suatu tempat. Dan tentu saja selalu ada pilihan untuk berhenti menulis.
Kamu punya banyak kawan yang juga gemar membaca dan menulis. Apakah itu artinya kalian membicarakan sastra secara serius dan terus-menerus?
Tidak selalu. Kami senang mengobrol soal binatang, video game, musik, film, orang-orang sakti dari India, orang-orang sakti bukan dari India, cara mendidik anak dan hewan peliharaan, sepakbola, bokep, otomotif, bokep bertema otomotif, gaya hidup Amerika, wing chun, nama-nama daerah yang terdengar menggelikan, hantu-hantu, jenderal-jenderal, kaktus, dan lain-lain. Dibandingkan dengan keseluruhan obrolan soal topik-topik itu, pembicaraan tentang sastra jelas tidak dominan.
Kita pernah mendengar istilah “there is nothing new under the sun”. Menurutmu, apalagi yang tersisa untuk ditulis dan mengapa kamu ingin terus menulis?
Selama ini dan sampai kapan pun pasti ada yang patut dibaca dan dituliskan. Manusia mungkin tidak menarik, banteng mungkin tidak menarik, gaun balet tidak menarik, sepatu roda tidak menarik, tapi manusia banteng dengan gaun balet dan sepatu roda?
Aku tidak bilang ingin terus menulis. Kalau suatu saat aku menemukan hal lain yang bisa kulakukan dengan lebih baik ketimbang menulis, puf, adios Microsoft Wordos! Oh ya, menurut buku shio yang kubaca waktu kecil, selain penulis, pekerjaan yang cocok buatku adalah gigolo. Tapi kupikir itu bohong. Kedua pekerjaan itu, kan, menuntut pelakunya menyenangkan banyak orang.
Buku kumpulan cerita pendekmu, Bakat Menggonggong, sebentar lagi akan terbit. Bisa kasih bocoran sedikit tentang konsep bukumu itu—apakah ada kisah manusia banteng dengan sepatu roda dan gaun balet?
Akan ada beberapa fragmen cerita yang berhubungan dan memakai judul yang sama, tapi diletakkan terpisah, seperti dalam Brief Interviews with Hideous Men. Secara keseluruhan, buku itu sebenarnya cuma himpunan cerpen yang kutulis selama beberapa tahun terakhir. Ada satu cerita tentang manusia buaya yang membunuh para penyebar agama.
Sebagian besar tulisan itu sudah terbit di pelbagai tempat, tapi semuanya kusunting ulang karena aku menemukan beberapa kekurangan. Perlu waktu agak banyak. Hehe. Tapi kupastikan sampulnya bagus, deh. And maybe I’ll put my photo on the back cover. Been wondering if my cute face can amp up the sales.
Seseorang membaca karya-karya bagus karena alasan yang sudah jelas. Nah, apa yang membuatmu membaca karya-karya buruk—itu pun jika kamu memang membacanya?
Kalau sedang di toko buku dan kebetulan bertemu rak yang memajang buku-buku jelek, aku putar balik atau berjalan mundur. Aku tidak punya waktu untuk karya buruk. Kita bahkan tidak punya cukup waktu untuk membaca seluruh karya yang perlu dibaca. Aku curiga Borges sudah hidup sembilan kali hanya untuk membaca sebelum dia menjadi Borges yang kita kenal.
Tapi tentu ada masa ketika aku lebih tolol dan akan ada masa aku jadi lebih pintar ketimbang sekarang. Banyak buku yang dulu kubaca dan kusukai baru kuketahui keburukannya sekarang, demikian pula karya-karya yang sekarang kuanggap bagus boleh jadi lima tahun lagi bakal kudeportasi ke Brunei.
Bagimu, apa saja karya yang perlu dibaca itu dan bagaimana kamu mempelajarinya?
Aku biasa mulai dengan menentukan teks kunci, kemudian membaca teks-teks lain yang berhubungan dengannya. Misalkan puisi-puisi Chairil Anwar. Setelah melakukan pembacaan dekat, aku tahu apa saja yang aku ingin pelajari dari teks itu. Katakanlah cara dia membuat imajeri. Pekerjaan berikutnya adalah menelusuri silsilah teknik itu sejauh yang kuanggap relevan dan mempelajari bagaimana ia dipakai oleh tiap-tiap penyair, apa perbedaan yang satu dengan yang lain. Kalau hubungannya pengaruh-mempengaruhi, apa saja yang dibawa, ditinggalkan, dan dikembangkan oleh pihak yang belakangan.
Itu baru satu hal dari satu teks kunci. Mengingat kita mustahil menggasak seluruhnya dalam satu masa hidup, prioritas adalah hal yang penting. Di atas prioritas itulah seorang penulis membangun sistem: mempelajari apa dari siapa, menggabungkan teknik A dari si X dengan trik C dari si F dengan gagasan si Z atau yang lain. Kemungkinannya tidak terbatas.
Secara umum, apa tiga hal yang sering kamu temukan pada karya buruk?
(i) Penjelasan yang berlebihan. Itu justru menunjukkan bahwa si penulis tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan. (ii) Hasrat penulis untuk menceramahi pembaca. Ini menyebalkan sekali. (iii) Kamu langganan Kompas?
Anggaplah aku langganan. Kenapa memangnya?
Sebagian besar cerita pendek yang dipublikasikan koran itu, terutama sejak diawasi oleh redakturnya yang terakhir, adalah showcase hal-hal yang membuat cerita menjadi buruk. Aku tidak selalu berhasil menghindar dari cerita-cerita tersebut. Sesekali aku membacanya (karena ditulis oleh temanku, misalnya) dan mendapati bahwa, ajaib sekali, keburukannya ajek.
Ngomong-ngomong, kamu pernah bilang bahwa lebih efektif belajar menulis dengan mengalihbahasakan karya orang lain ketimbang mengikuti tips menulis. Mengapa demikian?
Masa pernah bilang begitu, sih? Aku sebetulnya tidak punya masalah dengan tips. Beberapa hal yang terlewat sewaktu membaca karya tertentu malah kudapat dari sana. Tapi begini, deh: seorang penulis bisa tidak mendengar satu tip pun seumur hidupnya dan tetap menulis dengan bagus kalau dia belajar dengan benar, salah satunya lewat alihbahasa. Sebaliknya, kalau dia cuma menumpuk tips di kepalanya dan membolak-balik halaman alih-alih membaca, ada baiknya kita menjauh setiap kali menemukan apa pun yang dia bikin.
Tambahan soal penerjemahan: aku senang meniru dan penerjemahan memudahkanku untuk melakukannya. Tapi aku bukan penerjemah profesional dan aku malas. Terjemahanku sedikit sekali. Sebenarnya nggak pantas bicara panjang lebar soal penerjemahan.
Sebatas pengalamanmu, bentuk dan unsur apa yang paling menantang untuk diterjemahkan?
Ini klise tapi sukar dibantah: semuanya sulit dan menantang. Alihbahasa tidak seperti orang memindahkan kasur atau lemari dari indekos lama ke indekos baru. Ditaruh di mana pun, kasur atau lemari itu tetap kasur atau lemari yang sama. Para penerjemah sadar sejak awal bahwa pasti akan ada bagian teks yang akan tercecer dalam proses alihbahasa. Permainan bunyi, misalnya, kemungkinan besar akan hilang atau berubah. Mereka berusaha membuat sebuah teks terbaca dalam bahasa baru sebaik dalam bahasa aslinya sekaligus menjaga akurasi, dan itu tak mungkin sepenuhnya berhasil. Pasti ada kompromi di sana-sini.
Karya-karya klasik sulit sekali. Jangankan Shakespeare atau yang lebih dulu ketimbang dia, menerjemahkan Poe saja kepalaku sakit. Dan hasilnya jelas mengerikan. Sebab utamanya: kemampuanku kurang. Hehe. Akhirnya aku baca saja. Bahwa pelajaran yang kujaring tidak banyak atau harus agak repot mencari edisi yang disertai komentar, bodo amat.
Kuharap dalam waktu dekat aku bisa mulai belajar bahasa Spanyol. Aku pengin sekali membaca karya-karya Amerika Latin dalam bahasa pertama seperti Ronny Agustinus.
Masih ingat beberapa kalimat/bait khusus dari alihbahasa yang kamu buat?
Ya tidak, lah. Aku tidak ingat satu kalimat pun yang kuketik. Berikut ini satu paragraf dari cerpen Roberto Bolano yang pernah kupacak di blog, “Kematian Ulises Lima”:
Sopir taksi yang ditumpanginya melihat dia seakan-akan mereka adalah kenalan lama. Belano pernah mendengar cerita-cerita tentang sopir-sopir taksi Mexico City dan penjabalan di sekitar bandara. Tapi semua cerita itu kini menguap. “Mau kemana kita, Anak Muda?” tanya si sopir yang sebetulnya lebih muda ketimbang Belano. Belano menyebutkan alamat terakhir Ulises Lima yang dia ketahui. “Oke,” kata sopir, dan taksi menjauh dari bandara dan mencelupkan diri ke kota. Belano memejamkan matanya, sebagaimana biasa dia lakukan ketika masih tinggal di sini, namun sekarang ia benar-benar lelah sehingga matanya segera terbuka kembali, dan kota lama Belano, kota masa remajanya, menyingkapkan diri secara cuma-cuma. Tidak ada yang berubah, pikirnya, sekalipun dia tahu segalanya telah berubah.
KODA.
Pada sebuah film dokumenter, Derrida pernah ditanya tentang filsuf perempuan siapa yang ia harap adalah ibunya. Aku ingin menanyakan hal serupa: siapakah penulis perempuan yang kau harap adalah ibumu? Mengapa?
Kebanyakan penulis perempuan yang kusukai adalah penyair. Dickinson, Mistral, Szymborska, Sexton. Mereka menakjubkan. Aku juga suka novel S.E. Hinton dan cerpen-cerpen Flannery O'Connor, Jhumpa Lahiri, dan Katherine Mansfield. Selain mereka ada beberapa lagi, tapi prosais perempuan yang kusenangi memang tidak banyak. Virginia Woolf membuatku mengantuk. Toni Morrison, terutama dalam esai-esainya, seperti jam weker tua dan aku ingin melemparnya ke neraka.
Sampai tingkat tertentu, ibuku juga seorang penulis. Dia membikin puisi-puisi/kumpulan doa yang jelek sekali seperti Emha Ainun Nadjib, dan menimbunnya di lemari pakaian. Tapi dia cantik. Untunglah, sebab ayahku mirip pohon alpukat. Untuk pertanyaanmu, aku pilih Sylvia Plath, deh. Selain perkara tampang dia dan Ted Hughes, kita sama-sama tahu konsekuensi menggembirakan dari pilihan tersebut.[]
Karya-karya oleh prosais dan penyair kegemaran Dea Anugrah dapat dipesan melalui surel: postpasarsanta@gmail.com.
Pertanyaan oleh: Syarafina Vidyadhana
Foto oleh: Saila Rezcan (2016)