Sabda Armandio (Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, 24 Jam bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif) baru-baru ini membagi judul-judul novel yang dia baca saat mengerjakan Gaspar di Twitter. Kelewat girang, kami menerbitkan ulang daftar tersebut di sini lengkap dengan kesan-kesan Dio terhadap tiap bacaan. Semoga bisa menambah keriaan kawan-kawan dalam membaca, menulis, dan berbelanja buku bermutu!

 

Hopscotch – Julio Cortazar

Jujur saja, novel ini bikin mumet. Pada pembacaan pertama yang saya lakukan cuma mencatat kata-kata asing yang muncul di sana dan di sini sambil menggoblok-gobloki sikap Horacio Oliveira. Pekerjaan Cortazar di sini bukan cuma bercerita, kalau kita bayangkan novel adalah sebuah rumah dan penulis adalah arsiteknya, maka Hopscotch adalah rumah yang tidak akan mau kau tinggali: Dari luar bentuknya seperti rumah empat kamar, tetapi saat masuk kau segera sadar sebetulnya rumah itu adalah labirin. Beruntunglah meski membingungkan, Hopscotch menawarkan narasi yang cemerlang, karakter yang patut dicurigai, dialog-dialog asyik, dan kekayaan metafora. Jadi, yang perlu kau lakukan cuma mengulik dan mengembangkan eksperimen warisan Cortazar.

 

JealousyAlain Robbe-Grillet

Pencarian bentuk dan gaya menggiring saya ke gerakan Nouveu Roman, yang kemudian memperkenalkan saya pada Jealousy (La Jalousie), obsesi seorang suami pencemburu dan sekumpulan pohon pisang. Novel ini memanjakan pikiran pembaca, meski sebagian barangkali merasa bosan dan hanya tahan sampai halaman enam. Yang menarik dari novel ini adalah peran sang narator yang sebatas seperti kamera ponsel yang telah disusupi malware. Ia terus merekam gambar dan suara yang berada di jangkauannya dan tidak bisa lebih dari itu. Kamera ponselmu tidak akan mengomentari caramu mengoles eyeshadow atau lipstikmu yang kelewat menor, ia tidak mati bosan meladeni kebiasaanmu mengambil gambar yang tak perlu, ia bahkan tidak akan tersinggung sekalipun kau terus mengeluh tentang betapa jelek kualitas gambar yang dihasilkan. Tapi, kau tahu, itu menakutkan.

 

An Easy Thing  – Paco Ignacio Taibo II

Novel hard-boiled detective yang membuatmu merasa ingin bikin bentuk yang sama dengan mengganti Mexico City dengan Jakarta. Hector Belascoaran memiliki semua yang diperlukan untuk tampil gaya: Kota yang licik, cara berinteraksi dan perilaku yang jauh dari kesan berlebihan, sikap sinis yang tidak kampungan. Kasusnya bukan main-main, Emiliano Zapata (ikon revolusi Meksiko), masih hidup dan baik-baik, dan seseorang menyewa tenaga detektif kita untuk mencari tahu keberadaannya. Kasus yang mengitarinya tampak merupakan pantulan dari wajah Mexico City hari itu. Hal yang membuat saya terkesan adalah Taibo memilih kalimat-kalimat yang menyenangkan, penggunaan simile dan metaforanya bisa dijadikan panutan, kombinasi karakter yang keren dan penggunaan bahasa yang tepat membuat kasus rumit terasa sepele. Waktu pertama kali baca saya merasa Taibo terlalu terburu-buru, beberapa hal di dalam novel itu bisa diolah lebih banyak dan menyenangkan (saya membuat satu versi alternatifnya), tetapi setelah dibaca dua kali saya mengerti: Bukan Taibo yang tidak sabaran, tetapi saya yang berharap lebih saking asyiknya novel ini.

 

The Black Minute– Martin Solares 

Sebuah dunia dengan tingkat peredaran narkoba tinggi, penegak hukum korup, dan para pendatang yang menguasai ekonomi dengan cara curang. Itu dunia lapis kedua, dan kau ada di dunia lapis pertama di mana segalanya terlihat OK: Kau masih bisa makan enak, melihat perempuan dan laki-laki tampan, dan sesekali merancap sambil membayangkan artis idola. Untuk memasuki dunia lapis kedua, perlu sebuah pembunuhan. Normalnya, tidak ada orang yang ingin masuk ke dunia lapis kedua, tetapi sekali kau masuk sulit keluar lagi. Begitu pula tokoh utama di The Black Minute. Ceritanya begitu dekat dengan kenyataan dan penulis dengan mahir menjaga jarak itu dengan menyisipkan hal-hal magis. Kau mungkin akan berpikir tokoh utamanya mengidap semacam quixotic, meski begitu, setelah selesai membaca segala kesintingan yang terjadi ternyata bukanlah sentuhan yang buruk untuk masuk ke dalam cerita noir.

 

Down the Rabbit Hole– Juan Pablo Villalobos

Bara [Bernard Batubara –ed] pernah menulis tentang novel ini, saya dan Dea Anugrah pernah membicarakannya dan obrolan kami beralih ke Insiden Anjing yang Mati Tengah Malam dan kemungkinan-kemungkinan untuk membuat narator anak-anak. Karakter seperti Tochtili, Christopher Boone, atau Oskar Schell (Extremely Loud & Incredibly Close) memang tampak menggiurkan untuk digarap. Kelihatannya gampang, tapi ternyata menyimpan kerumitan yang sialan. Terpujilah orang seperti Mark Twain dan Villalobos.

 

Detektif Imung– Arswendo Atmowiloto

Pengalaman saya akan dunia bermain anak-anak di negara ini sangat terbatas, melulu hanya rumah dan sekolah. Membaca petualangan Imung banyak membantu saya lebih memahami alam pikir masyarakat, misalnya, soal baik vs. buruk (karena kasus Imung berputar di tema ini), pilihan-pilihan yang mungkin diambil para tokoh jika dihadapkan dengan kondisi tertentu, dan yang lebih penting tentu menghidupkan sifat tokoh-tokoh dalam Gaspar. Sebetulnya bukan hanya Imung, saya juga berusaha mengingat-ingat cerita-cerita di majalah Bobo yang saya baca sewaktu kecil, atau menginterogasi teman tentang pengalaman-pengalaman mereka semasa kanak. Ini penting, khususnya buat Gaspar.

 

Beberapa cerpen di Ficciones– Jose Luis Borges

Tidak perlu panjang lebar mengenai buku kumpulan cerpen Borges ini. Alat-alat yang dipakai Borges untuk membuat cerita bisa kau pakai dan kembangkan, dengan berbagai variasi, hingga 200 tahun ke depan.

 

Novel ’24 Jam Bersama Gaspar’ tersedia di POST Bookshop dan bisa dipesan lewat email postpasarsanta@gmail.com. Kami juga sedang memburu judul-judul lain dalam daftar ini, semoga bisa segera tersedia di POST!

 

----

Teks oleh Sabda Armandio, dikumpulkan dari Twitter oleh Syarafina Vidyadhana