Di Sabtu sore di bulan Agustus kami berbincang-bincang bersama Pepe dan Ester dari Merah Muda Memudar tentang edisi kedua dari zine fememenisme mereka. Merah Muda Memudar (MMM) adalah sebuah kolektif yang mencoba menyediakan ruang bagi perempuan untuk mengeksplorasi diri dan berbagi cerita, salah satunya dalam bentuk zine yang mereka namai Fememenisme. Zine Fememenisme #1 mereka yang terbit di awal 2018 berjudul “Gebak-Gebuk Cinta” membahas seputar kekerasan fisik dan mental berbasis gender dan seksualitas. Sementara di zine fememenisme #2 mereka mengambil tema “Survivabilitas” yang membahas bagaimana perempuan bertahan hidup dalam dunia patriarki. Obrolan sore itu dipandu oleh Kania Mamonto dari kolektif Bisik-Bisik Kembang Goyang (kolektif yang zine-nya juga sangat kami suka).

 Zine #1 Gebak Gebuk CInta. Zine #2 Survabilitas

Kenapa namanya Merah Muda Memudar? Menurut Pepe, editor MMM, “Warna merah muda adalah warna yang paling sering diasosiasikan dengan perempuan, dengan feminitas. Kami ingin berpikir ulang apa yang kita sebut perempuan, apa yang kita sebut ekpresi gender. Kenapa ada istilah memudar, kami ingin ‘memudarkan’, mendekonstruksi warna yang dilekatkan oleh masyarakat. Sebenarnya warna perempuan itu apa sih kalau tidak dilekatkan oleh masyarakat?”

Para pegiat MMM juga kerap menemukan betapa tulisan-tulisan feminis yang bagus banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Karena itu, salah satu tujuan MMM membuat zine dengan Bahasa Indonesia dan bahasa yang ‘kekinian’ adalah agar ia mudah dimengerti dan bisa menjadi alternatif dalam memperkenalkan feminisme.

Saat ditanya kenapa MMM menyebut istilah feminisme dengan fememenisme, Ester, penggagas MMM menyampaikan, “Setiap kali kita bicara tentang feminisme, selalu saja ada orang yang merasa tidak nyaman. Kami ingin membingkainya jadi lebih menyenangkan sehingga orang lain lebih bisa membicarakannya dengan lebih enak. Jadi kami berpikir untuk memperlakukannya seperti internet meme saja, lucu tetapi serius.”

“Kali pertama kami berpikir untuk membuat Medium dan Zine MMM ini, kami berpikir seperti ini; we don’t want to define what is feminist and what is not, we don’t want to define what is a feminist value or not, we don’t want to define  what is feminism or what is not feminism, we don’t want to focus on that. Kami lebih ingin orang lebih fokus pada  apa yang bisa dikerjakan membantu dan mendukung perempuan untuk bisa setara dalam sosial, kultural, ekonomi maupun politik.

 Pepe dan Ester

”Dalam sesi tanya jawab, seorang pengunjung menanyakan pendapat teman-teman MMM mengenai istilah ‘Feminazi’. Menurut MMM, tidak seharusnya feminis disamakan dengan nazi, dari segi politik saja sudah beda jauh. Nazi memandang wanita bukan sebagai manusia seutuhnya, justru sebagai obyek dan sebagai ‘pabrik anak’. Istilah ‘feminazi’ itu hanyalah ejekan ketika seseorang tidak suka mendengar/melihat seorang perempuan ‘marah’, padahal mereka membela hak yang sepatutnya memang ia miliki.

Ada kritik kalau gerakan feminisme ini untuk mendominasi laki-laki. MMM percaya rasa ketakutan itu hanya timbul oleh mereka yang merasa telah menindas perempuan atau diuntungkan dari keadaan sekarang. Kalau tidak merasa bersalah untuk apa takut.

Hal menarik juga muncul dari salah satu pengunjung di Sabtu sore itu. Namanya Sisil, ia anggota Komunitas Gerakan Akar Rumput, komunitas perempuan-perempuan di pedesaan. Ia berkata bahwa gerakan kesetaraan gender itu bukan cuma dilakukan oleh kaum urban. Di Jember contohnya, ada sekolah Ebok-Ebok (dalam bahasa Madura artinya ibu-ibu), ada juga sekolah bapak-bapak, sekolah eyang-eyang, dan juga kelas pendampingan anak. Anak-anak di Jember dari usia TK sampai SMA (18 tahun), mereka belajar apa itu gender, apa itu seks, dan apa perbedaannya. Mereka juga belajar sambil bermain dengan permainan tradisional seperti egrang. Menurut Sisil, egrang adalah keseimbangan. Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, yang dimana keduanya saling membutuhkan. Anak-anak belajar bermain egrang yang sangat susah dinaiki dan mereka pikir hanya dimainkan untuk laki-laki, namun mereka, laki-laki maupun perempuan, bisa melakukannya. Mereka memainkannya bukan hanya untuk balapan, tapi juga menari dan bermain musik di atas egrang.

Begitu juga di sekolah ibu-ibu, setiap kampung sekitar 25-40 orang dalam sekali pertemuan per minggu, belajar mengenai apa itu gender dan seks, dengan kurikulum buatan sendiri dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menariknya, bapak-bapak sering mengintip kegiatan sekolah ibu-ibu, lalu mengusulkan untuk membuat sekolah bapak-bapak juga. Adanya perubahan yang terjadi dalam lingkup keluarga, yang dulunya perempuan adalah Sumur, Dapur, dan Kasur (kalau mereka sebut 3M, Macak, Manak, dan Masak), sekarang sudah menjadi kewajiban keduanya, bagaimana mereka saling membantu, jam berapa sampai jam berapa mereka harus ke sawah, dan jam berapa mereka harus di dapur. Tidak hanya itu, penyadaran pun dilakukan dari hal kecil yang bernilai besar.  Saat suami meminta tolong pada istrinya, misalnya,  terkadang mereka lupa akan ungkapan tolong. “Buatkan aku kopi!”, begitu saja biasanya. Namun, sekarang tidak hanya mengukapkan kata tolong, mereka juga ungkapan kata terima kasih dan I love you. Semua yang hadir tertawa saat Sisil menceritakan itu.

Menjelang akhir diskusi, moderator kami, Kania, bertanya apa tantangan feminis millenial hari ini menurut MMM. Menurut Ester, “Untuk tantangan feminisme dalam konteks urban milenial, menurut saya kita harus bisa berbuat lebih dari sekadar di media sosial. Kita harus bisa membuat perubahan, walau kecil. Kalau misalnya yang kamu kerjakaan tidak membuat perubahan yang signifikan, kamu hanya omong kosong.”

Kalau menurut Pepe, “Ingat refleksi, sabar, mendengar. Butuh waktu lama untuk saya untuk memahami sebenarnya saya berbicara feminisme ini untuk apa, apakah untuk saya saja, agar orang me-like media sosial saya. Dari hal-hal kecil seperti yang kami lakukan sekarang, saya berharap akan ada perubahan.”

 

--

Baca juga liputan obrolan bersama Merah Muda Memudar di Jurnal Ruang.

 

Ditulis oleh: Shinta Lay