Kali pertama membaca Rumah Kopi Singa Tertawa, saat itu tahun 2013, ia segera menjadi salah satu buku favorit kami. Ceritanya ajaib, tokoh-tokohnya kuat, cara bertuturnya segar. Namun, pada saat yang sama, terbit pula rasa heran. Mengapa kami tak pernah tahu tentang buku ini? Penulisnya, Yusi Avianto Pareanom, dan Banana, penerbitnya, tak pernah kami dengar. Di tahun yang sama kami membaca dan jatuh cinta pada Na Willa karya Reda Gaudiamo, cerita gadis cilik di Surabaya tahun 1960an. Cerita anak dengan narasi jenaka, polos, namun tidak menempatkan dunia anak sebagai gelembung yang melulu terpisah dari dunia dewasa. Buku ini pun tak pernah kami dengar sebelumnya.  Untuk kami, juga mungkin banyak pembaca lain di masa itu, karya-karya penulis Indonesia kontemporer adalah apa-apa yang diterbitkan penerbit-penerbit arus utama, melalui jalur-jalur distribusi toko buku besar.

Mengapa buku-buku itu tak pernah kami temui di sana?

Untuk mendistribusikan buku melalui toko buku besar, penerbit harus mencetak dalam jumlah banyak, dengan potongan konsinyasi yang cukup tinggi, serta usia buku di rak yang kerap pendek. Jika jumlah penjualan tertentu tak berhasil dicapai, buku harus tergeser. Walau, kita tahu, beberapa buku bagus terkadang terlambat panas. Mungkin ini bisa dipahami mengingat biaya operasional toko buku di pusat-pusat perbelanjaan yang tinggi, belum lagi biaya distribusi. Namun, situasi ini membuat penerbit, juga toko buku, sulit bergerak. Mereka mau tak mau harus menerbitkan dan menjual buku yang diyakini akan disukai pasar. Ruang bereksperimen dalam karya menjadi sempit.

Dalam situasi inilah, saat publikasi di toko buku arus utama harus ditentukan oleh mekanisme pasar, penerbit-penerbit independen mencoba menghadirkan alternatif. Mereka menerbitkan buku yang mereka yakini patut dibaca lebih luas. Mereka memasarkannya melalui jalur-jalur independen; gerai-gerai buku kecil, jalur daring, komunitas baca, juga aktivis perbukuan di kampus-kampus. Di jalur ini mereka tidak terbebani untuk mencetak dalam jumlah banyak, karenanya menjadi lebih bebas untuk tidak melulu mengikuti selera pasar. Toko-toko buku kecil pun, dengan biaya operasional yang lebih rendah, memberi potongan yang lebih bersahabat bagi penerbit. Ini membuat penerbit independen bisa lebih bereksperimen dalam menerbitkan karya.

POST Picks at Aksara

Maka tahun-tahun belakangan ini, alternatif bacaan menjadi lebih semarak. Dari penerbit independen kita bisa membaca, misalnya, tulisan Mahfud Ikhwan tentang kecintaannya pada film India. Karya yang mungkin tak segera dilirik jika pasar menjadi pertimbangan utama. Seperti yang dengan getir ditulis Mahfud, Menonton film India, membahasnya, apalagi menuliskannya adalah semacam kerelaan menjadi – meminjam film garapan Mehmood tahun 1996 – dushma duniya ka; sang musuh semesta.

Dari penerbit independen pula kami diperkenalkan pada fiksi-fiksi mini Ana Maria Shua, atau penulis muda Dea Anugrah dan Sabda Armandio yang rajin menantang kepenulisannya dan mengulik bagaimana sebuah cerita bisa dibawakan, atau puisi-puisi berbahasa Inggris Mikael Johani, atau novel Martin Suryajaya yang bermain bentuk dengan begitu liarnya. Penerbit independen seperti Ultimus memperkenalkan kembali S. Rukiah, penulis perempuan terkemuka tahun 1950an yang kemudian ditenggelamkan karena sebab-sebab politis yang menjengkelkan. Kualitas karya penerbit-penerbit independen pun mendapat apresiasi baik. Dawuk, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, Kiat Sukses Hancur Lebur, adalah beberapa judul yang mendapat penghargaan prosa terbaik di beberapa penghargaan sastra dua tahun belakangan. Na Willa dan We Are Nowhere and It’s Wow juga akan diterbitkan kembali oleh penerbit di Inggris.

Namun, seperti segala sesuatu yang lain, tentu tidak ada yang mutlak dalam dikotomi penerbitan arus utama dan independen. Di antara idealismenya, tentu ada karya penerbit independen yang tidak bagus-bagus amat, bahkan jelek. Kami juga menemukan terjemahan karya penting dengan kualitas yang menyedihkan. Demikian pula penerbit arus utama, tentu tidak semua karyanya adalah karya populer yang tidak menawarkan sesuatu yang berani dan baru. Walau tuntutan pasar kerap mengekang, tetap muncul darinya karya indah yang dapat menembus jaman (salah satu buku kesayangan kami tahun ini: Manisfesto Flora karya Chynta hariadi, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama). Namun demikian, bisa dikatakan, tahun-tahun belakangan, hadirnya penerbit-penerbit independen telah membuat ekosistem perbukuan menjadi semarak. Ia menjadi alternatif untuk mendapatkan bacaan mengasyikkan, atau salah satu acuan untuk bersama-sama mendefinisikan kembali apa itu buku baik.

Untuk membuka kolaborasi kami dengan Aksara, toko buku independen yang dekat di hati warga Jakarta ini, kami mengajak teman-teman merayakan bersama gairah dari para penerbit independen ini. Kegigihan mereka dalam menghadirkan alternatif bacaan yang diyakini baik bagi pembaca. Semoga seperti kami, teman-teman juga bergembira dalam perayaan kecil ini. Mungkin menemukan buku dari penulis yang tak kalian kenal sebelumnya, atau dengar sambil lalu, yang karyanya ternyata membuatmu tercenung, atau bernostalgia, atau beriang hati. Selamat membaca.

 

*Ditulis sebagai pengantar rekomendasi buku-buku penerbit independent pilihan POST Bookshop untuk Aksara Kemang, Juli 2018.