Beberapa waktu lalu, seorang kawan memberi kabar ia dan beberapa temannya baru saja merintis usaha penerbitan fiksi terjemahan. “Down and Out in Paris and London” karangan George Orwell menjadi karya pertama yang diterbitkan. Menurutnya ini karya penting. Walau Orwell menjadi termashyur karena “1984” dan “Animal Farm”, konon inilah karya yang mengantar Orwell ke kancah sastra di Inggris, lantas dunia. Kisahnya pun menarik, diambil dari perjalanan kepenulisan Orwell sendiri saat ia luntang luntung dan melarat di Paris lalu London.

Kabar di media sosial ini disambut meriah oleh kawan sesama pencinta buku. Semua memberi selamat, semua ikut nimbrung memberi usulan sampul buku yang pas, semua berkata betapa mereka tak sabar untuk segera memilikinya. Ini adalah pemandangan pagi hari yang indah. Saat akan hadirnya buku bagus dirayakan dengan gembira.

Hanya saja, pada saat yang sama saya juga berpikir, sampai seluas apa kabar gembira ini akan dirayakan?

Membuat sebuah usaha penerbitan independen, dan menerjemahkan karya klasik seperti ini, tentu sesuatu yang dilakukan atas dasar cinta yang besar pada buku serta penyebarluasan pemikiran. Ia jelas bukan pilihan yang dibuat semata dengan alasan ekonomi. Dengan minat baca yang masih kurang, jalur penjualan buku yang dikuasai satu jaringan toko buku besar saja, dan modal penerbitan independen yang pas-pasan dalam mencetak dan memasarkan buku, tentu akan menyulitkan buku bersangkutan beredar luas di masyarakat.

Jangankan buku dari penerbit kecil, buku penerbit besar pun terkadang tak bisa bertahan lama di toko buku. Jika sebuah angka ribu penjualan tertentu tak dicapai dalam dua bulan maka buku mesti kembali ke gudang. Saat ribuan judul baru terbit setiap bulannya, persaingan menjadi demikian ketat.

Penjualan sebuah buku sering tidak berbanding lurus dengan kualitas kepenulisannya. Saya ingat bagaimana, misalnya, buku ‘Semusim dan Semusim Lagi” karya Andina Dwifatma yang menang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), cukup sulit ditemui di toko buku setahun saja sesudah ia terbit. Beberapa buku terkadang terlambat panas, tetapi nasibnya harus ditentukan hanya pada bulan-bulan awal keberadaannya. Beberapa buku bagus dari penulis yang kurang terkenal bahkan harus teronggok sedih di rak belakang pada minggu-minggu awal terbitnya. Beberapa waktu lalu saya membaca novel berjudul “Kamu” karya Sabda Armandio. Walau masih ada lubang di beberapa tempat, buku “Kamu” menunjukkan bakat besar si penulis muda. Dan dibanding buku tentang remaja yang beredar sekarang, ia jelas banyak unggulnya. Namun, buku ini kerap saya lihat berada jauh di rak belakang pada minggu awal ia beredar. Bahkan buku “Kambing dan Hujan” yang tahun lalu memenangkan sayembara novel DKJ pun saya beli di rak belakang, jauh dari kemencolokan. Buku karya Mahfud Ikhwan ini bagus, sungguh. Ia menggugat kesempitan cara berpikir dalam beragama dengan tidak menertawakannya. Tapi ya begitu, ia harus berdesakan bersama ratusan judul lain yang mungkin lebih diterima pasar.

Seorang kawan editor pernah berkata, seorang penulis harus juga bisa menjadi pemasar yang baik. Betul, tentu. Hanya saja, ini sering ada dalam urutan yang rasanya tidak pas. Pemasar yang baik walau dengan kualitas penulisan yang biasa-biasa saja, sering malah unggul. Apalagi, penulis bagus terkadang terlalu sungkan untuk berkoar-koar cari perhatian.

Tempo hari saya ke salah satu toko buku besar di Jakarta dan secara iseng bertanya pada beberapa penjaga apa rekomendasi buku yang wajib dibaca jika ingin mulai membaca sastra Indonesia. Para penjaga sedikit bingung bahwa ada yang meminta rekomendasi kepadanya. Saya diantar ke rak bertuliskan sastra dan diminta untuk memilih sendiri. Saya tetap bertanya apa yang menurut mereka buku wajib, mereka menggeleng. Seandainya toko buku besar mendedikasikan sebuah sudut kecil saja di depan, yang secara konsisten merekomendasikan buku karena kepenulisan yang baik terlepas dari jumlah eksemplar penjualannya, tentu toko buku dapat tetap menjadi tempat yang merayakan karya baik, bukan karya laku semata, atau bahkan pernak-pernik lucu.

Betapapun, seperti hal-hal murung yang lain, harapan-harapan tentu masih selalu ada.

Penerbitan-penerbitan independen dengan jalur distribusi alternatif pelan-pelan bergeliat. Aktivis perbukuan di Yogyakarta misalnya, membuat acara Kampung Buku Jogja yang mewadahi berbagai penerbit independen Jogja. Anak-anak muda ini bergerak sendiri, memburu penulis muda berbakat, menerjemahkan karya-karya klasik, memasarkan secara online. Mereka juga bekerja sama dengan aktivis buku di berbagai kampus, atau sekadar mahasiswa yang cari-cari tambahan uang saku, untuk membantu pemasaran. Mereka menolak kalah dari selera pasar dan manantang hegemoni distribusi buku. Mereka bergerak bersama penggerak penerbitan independen yang lebih dulu seperti, misalnya, Ronny Agustinus yang berkreasi melalui Marjin Kiri, penerbitannya yang konsisten menghadirkan wacana-wacana alternatif dan ulasan mendalam.

Saat jalur pendistribusian utama buku masih mengedepankan akumulasi modal sebagai panglima, jalur-jalur alternatif bisa menjadi oase.

Beberapa tahun lalu saya secara tidak sengaja menemukan buku ‘Rumah Kopi Singa Tertawa” karya Yusi Avianto Pareanom di Kineruku, toko buku dan perpustakaan indepeden di Bandung. Tanpa Kineruku tentu saya tidak akan berkenalan dengan cerita-cerita pendek ganjil yang bagus itu. Tanpa ruang alternatif seperti Kineruku, atau obrolan dari mulut ke mulut para pencinta buku, mungkin ‘Rumah Kopi Singa Tertawa” yang terbit 2011 lalu harus teronggok lama di gudang Banana, penerbitnya. Sayang sekali untuk buku ajaib yang bikin banyak kawan saya menyumpah-nyumpah karena kepiawaian si penulis meramu cerita.

Ruang buku independen seperti Kineruku memberikan kesempatan bagi penerbit-penerbit independen untuk memajang karyanya, juga penulis-penulis dengan karya yang tak melulu sesuai selera pasar untuk mendapatkan ruang. Senang rasanya melihat ruang-ruang alternatif seperti ini bermunculan, ada ‘Kata Kerja’ di Makasar, ‘C2O’ di Surabaya, ‘Taman Baca Kesiman’ di Denpasar, dan lain-lain. Ruang-ruang ini juga didirikan oleh orang yang juga mencintai buku dan merupakan pembaca yang baik. Ada alasan mengapa setiap buku menjadi koleksi di perpustakaannya. Dan dialog-dialog soal ini dapat selalu terjadi dalam interaksi di ruang alternatif ini, juga dalam diskusi-diskusi buku yang kerap digagas. Dialog-dialog mengenai mengapa sebuah buku bagus, bagaimana pengembangan plot dan karakternya, bagaimana diksinya, juga di mana tempat buku tersebut dalam karya-karya lain. Mereka, para penerbit independen, juga toko buku independen, tidak hanya menjual buku dan menjadikannya sebagai barang dagangan. Mereka merayakan kegiatan membaca karya baik.

Bulan Oktober ini Indonesia sedang menjadi tamu kehormatan festival buku di Frankfurt. Terlepas dari silang pendapat soal apakah Indonesia telah memanfaatkan kesempatan ini dengan maksimal, ia tetap menerbitkan harapan. Senang rasanya melihat Eka Kurniawan menjadi perbincangan hangat karena mutu karya-karyanya semakin diakui. Ini tidak hanya dapat lebih membuka jalan bagi dikenalnya karya dari Indonesia, tapi juga bisa menjadi kampanye bagi pembaca Indonesia sendiri untuk menghargai karya-karya baik. Atau mendefinisikan kembali karya baik.

Hadirnya buku bagus adalah kabar baik. Dan kabar baik, sebaiknyalah disebar. Ia penting untuk digaungkan seluas-luasnya, didiskusikan sebanyak-banyaknya, tidak hanya di kalangan terbatas komunitas sastra, tapi kepada para pembaca umum, atau mereka yang baru hendak mulai membaca.

Saya percaya, literasi masih bisa dibangun. Jalan yang panjang, tentu, tapi mungkin. Jalan yang dirintis karena kecintaan pada buku semata, bukan yang lain. Seperti apa yang dikatakan salah satu komentar di status kawan yang menggagas penerbitan independen tadi, ucapan penyemangat untuk mereka yang bergerak di dunia perbukuan, “selamat menempuh jalur surga.”

 

-

Teks dan foto (diambil di Bluestockings, toko buku radikal di New York) oleh Teddy W. Kusuma.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Midjournal pada bulan Oktober 2015.